Memilih Model Bisnis yang Tepat untuk Startup: Premium, Freemium atau Gratis

Memilih model revenue atau pendapatan yang tepat untuk startup kamu bisa jadi tantangan tersendiri. Keputusan apakah menggunakan model produk berbayar, freemium , atau sepenuhnya gratis bakal menentukan insentif seperti apa arah perusahaanmu dan bagaimana kamu menilai kesuksesan.

Tiap model punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tergantung dari model bisnis perusahaan, jenis pelanggan, dan dana yang tersedia. Satu model revenue bisa saja sangat cocok untuk perusahaanmu, sementara model yang lain sama sekali tidak.

Umumnya, model gratis ditemui di produk yang melayani konsumen akhir, sementara model freemium dan premium/berbayar biasanya ditemui di produk business-to-business .

Kadang, startup harus melakukan pivot untuk menemukan model yang tepat. Startup saya Education Ecosystem misalnya, pindah dari model premium ke gratis di awal tahun 2019 lalu. Memahami kelebihan dan kekurangan tiap model akan membantu menentukan mana yang cocok untuk basis pengguna, sektor bisnis, serta persaingan perusahaanmu.

Artikel ini akan menjabarkan perbedaan antara model revenue berbayar/premium, freemium , dan gratis. Selain itu saya juga akan menyertakan sedikit pendapat dari para para ahli di Asia dan Amerika Serikat.

Model premium (berbayar)

Model revenue berbayar adalah cara klasik untuk mendapatkan uang. Biasanya dilakukan dengan cara menarik biaya dari tiap transaksi atau langganan bulanan.

Ketika ditanya pendapatnya tentang model ini, Cong Thang Huynh selaku co-founder platform inovasi InnoLab Asia mengatakan dibandingkan dengan model gratis dan freemium , model berbayar ini mendominasi di Asia Tenggara (misal Grab , Foody, Topica).

“Ini karena model berbayar memang cukup ideal untuk pasar Asia Tenggara, di mana masyarakat mudanya mau mengeluarkan uang untuk layanan dengan quality of life serta praktis.”

Menurut Huynh, model berbayar sangat populer di Asia Tenggara karena tidak seperti Cina, Amerika, dan Eropa, benua ini tidak punya akses dana VC yang melimpah.

Tapi meskipun cukup solid, ada banyak tantangan dalam menjalankan model revenue ini. “Kelemahan model berbayar adalah kamu harus punya banyak modal untuk membangun ekosistem dan mengumpulkan data yang cukup guna memahami basis pelanggan dan kemudian berekspansi,” ujar Huynh.

Biaya mengembangkan bisnis yang menggunakan model revenue berbayar terbilang tinggi. Tapi jika lifetime value pelanggan jauh lebih tinggi dibanding biaya per akuisisinya, maka startup tersebut akan sukses dalam jangka panjang.

David Stok selaku partner di Matrix Partners pun setuju. “Untuk perusahaan yang menggunakan model langganan, mengukur performa dengan metode akuntansi tradisional tidak akan bisa memberi gambaran yang jelas tentang perusahaanmu. Ini karena metode tradisional tidak menghitung value dari pelanggan yang akan datang di masa depan.”

Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini, ujar Stok, adalah fokus pada unit economics : lifetime value pelanggan, biaya akuisisi pelanggan (CAC), dan waktu untuk menutupi biaya CAC. Tiga hal tersebut akan menunjukkan tingkat kesehatan finansial perusahaan dalam jangka panjang.

Menurut Stok, manajemen harus mengubah metrik dan insentif mereka agar sesuai dengan model bisnis perusahaan.

Model freemium

Selama 10 tahun terakhir, model freemium menjadi konsep andalan yang digunakan startup B2B dan B2C. Utamanya yang ingin melakukan monetisasi sejak awal. Melalui model ini, pengguna bisa mendapatkan fitur dasar dari produk sebuah startup secara gratis, serta punya pilihan untuk mengakses fungsi tambahan dengan membayar biaya langganan.

Perusahaan yang sukses menggunakan model ini antara lain Tokopedia di Indonesia serta Swingvy di Singapura. Belum lama ini, layanan streaming video asal Singapura HOOQ juga menambahkan opsi freemium untuk pelanggannya.

Kata gratis adalah alat marketing yang sangat efektif, dan model freemium membuat perusahaan baru bisa menarik pengguna serta scaling dengan cepat tanpa harus mengeluarkan banyak biaya untuk iklan atau sales . Cara ini umumnya lebih sukses dalam menarik pengguna dibanding model 30 hari uji coba gratis atau yang serupa.

Tapi model ini tidak untuk semua perusahaan dan punya kekurangannya sendiri. Model ini bisa menarik pengguna karena layanan yang tersedia gratis, dan bukan karena produknya cocok untuk pengguna tersebut.

Fenomena ini bisa membuat perusahaan kehilangan fokus ke pengguna setia yang mau membayar. Selain itu, beberapa orang punya pandangan negatif terhadap produk gratis dan berharap sebuah layanan atau produk menarik biaya sesuai dengan nilai layanan/produk tersebut.

Dari sisi teknis, menangani ribuan hingga jutaan pengguna bisa jadi tantangan yang sangat berat. Bayangkan harus menangani feedback dan keluhan untuk ribuan orang.

Biaya juga jadi faktor penting ketika berurusan dengan model freemium . Agar unit economics -nya bekerja, startup harus sebisa mungkin memastikan bahwa menarik/mengakuisisi pengguna gratis tidak memerlukan biaya sama sekali. Karena jika punya pengguna gratis yang terlalu banyak, perusahaan akan sulit berkembang lantaran harus mengeluarkan biaya besar untuk mereka.

“Model revenue gratis dan freemium bisa jadi titik awal yang mudah jika dilakukan dalam skala kecil. Tetapi sulit dikembangkan agar bisa mendominasi pasar dan mempertahankan pangsa pasar yang besar,” Huynh menambahkan.

Model gratis

Sekilas, model revenue gratis mungkin terdengar kontra-intuitif. Bagaimana mungkin perusahaan mendapatkan untung jika layanan atau produknya bisa digunakan secara cuma-cuma?

Ketika perusahaan menyediakan produk secara gratis, pendapatannya biasa diperoleh dari iklan. Model ini biasanya digunakan oleh bisnis online dan aplikasi, dan dikenal dengan sebutan “Facebook Model.”

WeChat misalnya, meraih sukses besar dengan strategi ini. Perusahaan asal Cina tersebut mendapatkan lebih dari miliaran pengguna dengan menyediakan aplikasi chat dan telepon secara gratis.

Model ini efektif di produk yang melayani konsumen akhir dan bisa memiliki jutaan pengguna aktif . Perusahaan telco asal India Jio juga menggunakan layanan gratis untuk mendapatkan pengguna di masa-masa awal. Lalu meskipun mengubah sebagian model bisnisnya jadi berbayar, perusahaan tersebut tetap punya banyak pengguna berlangganan.

Tantangan terbesar dalam menggunakan model bisnis ini adalah mendapatkan pengguna dalam jumlah yang cukup besar agar bisa menarik pengiklan. Proses akuisisi pengguna tersebut bisa saja memakan biaya besar, terutama di masa awal. Padahal perusahaan dengan model ini juga biasanya tidak begitu menarik bagi pengiklan.

Kesimpulan

Masing-masing model revenue punya kelebihan dan kekurangan. Model berbayar adalah model yang paling umum di Asia Tenggara, tapi memerlukan investasi besar agar bisa berkembang. Sementara model freemium biasanya digunakan oleh perusahaan atau produk B2C, tapi berpeluang menarik pengguna yang kurang tepat.

Lalu meskipun sudah pernah digunakan dan berbuah sukses di perusahaan seperti WeChat, Weibo , dan QQ , model gratis bukanlah model yang cocok untuk semua perusahaan.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Yasser Paragian sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Ancha Hardiansya)

Lewat ke baris perkakas