Bagaimana Kredivo dan Akulaku Bisa Memiliki Valuasi Rp7,4 Triliun

Banyak yang sudah tahu, kalau Indonesia serta beberapa negara Asia Tenggara lain punya masyarakat dengan jumlah pengguna layanan bank yang sedikit, serta kesulitan mengakses utang atau kredit. Kondisi ini membuat pesatnya pertumbuhan startup fintech di sektor pembayaran dan juga pinjaman, terutama pinjaman peer to peer .

Tapi memberikan pinjaman ke masyarakat ini tentu punya risiko. Banyak dari mereka belum pernah meminjam atau mengajukan kredit sama sekali. Artinya mereka hampir tidak punya catatan utang. Lantas, bagaimana pemberi pinjaman bisa memprediksi bahwa peminjam ini akan melunasi utangnya?

Startup Paylater muncul untuk menghadapi masalah ini. Ketimbang memberi pinjaman uang tunai, startup ini mengizinkan pengguna membeli barang saat itu juga tapi melunasi pembayarannya nanti melalui berbagai merchant online dan offline .

Ide ini sudah pernah muncul di barat, di mana perusahaan seperti Affirm, Afterpay, dan Klarna berhasil meraih valuasi miliaran dolar. Cina juga memiliki perusahaan seperti ini, misalnya Ant Financial dengan produk bernama Huabei.

Produk Paylater juga mulai bermunculan di Indonesia dan cukup sukses. Nama baru seperti Akulaku yang disokong oleh Ant Financial, dan Kredivo yang mendapatkan dana seri C US$90 juta (sekitar Rp1,3 triliun), dilaporkan punya valuasi sekitar US$500 juta (Rp7,4 triliun).

Lalu ada juga Oriente asal Hong Kong yang didirikan oleh co-founder Skype Geoffrey Prentice yang beroperasi di Indonesia dan Filipina, mendapatkan dana US$105 juta (Rp1,5 triliun) tahun 2018 lalu. Beberapa sumber mengklaim bahwa perusahaan ini juga punya valuasi sekitar Rp7,4 triliun.

Approach dengan risiko rendah

Dibanding negara maju, produk Paylater punya pengaruh yang berbeda di negara berkembang seperti Indonesia. Di Amerika Serikat atau negara Eropa, produk-produk ini merupakan alternatif kartu kredit yang user-friendly dan tanpa bunga.

Tapi di Indonesia, layanan ini membuat banyak orang bisa untuk pertama kalinya mengambil kredit untuk belanja.

“Di negara berkembang, solusi Paylater memungkinkan jutaan orang yang belum pernah mengambil kredit untuk menjauh dari bayang-bayang industri bank dan rentenir,” ujar Prentice dari Oriente yang menawarkan fitur Paylater di Indonesia melalui produk bernama Finmas.

“Bagi pengguna yang buta akan literasi finansial, memberikan solusi yang sederhana dan transparan akan sangat dihargai. Ini karena masyarakat suka sistem pembayarannya yang bisa diprediksi.”

Tapi layanan ini juga punya risiko: Para pengguna ini belum pernah meminjam atau mengajukan kredit. Artinya mereka tidak punya catatan utang serta pengetahuan yang cukup tentang manajemen uang.

“Indonesia punya masyarakat dengan perbedaan pengetahuan finansial yang sangat kontras,” ujar Prentice.

“Di negara seperti Indonesia di mana 70 persen masyarakat dewasa memilih sumber pinjaman informal (termasuk rentenir) dan dicekik oleh bunga yang terlalu besar serta ketentuan yang tidak adil, penggunaan data alternatif untuk membangun identitas finansial sangat penting.”

Banyak jenis pemberi pinjaman

Banyak pemberi pinjaman yang cenderung fokus memberikan “ productive loans ” (misal pinjaman untuk mengembangkan bisnis dan aktivitas ekonomi) seperti pinjaman untuk istri yang ingin membuka usaha rumahan. Approach ini lebih disukai oleh perusahaan P2P yang lebih besar seperti Koinworks , Amartha , dan Modalku .

Tentu saja, bukan berarti pinjaman untuk perorangan hanya bisa mengarah ke productive loans . Ada juga beberapa startup yang lebih fokus ke pinjaman edukasi. Beberapa fokus pula pada pinjaman konsumtif yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan diberikan dalam bentuk uang tunai.

Semua startup ini biasanya tidak membuka metode pencatatan kredit mereka. Tapi satu hal yang diketahui adalah mereka menggunakan berbagai poin data digital yang ditemukan di smartphone pengguna.

Seberapa efektif poin data tersebut, data apa saja yang digunakan, dan apakah data tersebut bisa menghasilkan catatan kredit yang keliru masih belum jelas. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa perusahaan ini (terutama yang tidak memiliki lisensi OJK) sudah pernah terlibat tuduhan penyalahgunaan utang.

Tim Kredivo / Sumber: FinAccel

Startup Paylater mengklaim bahwa mereka bisa mengakses data konsumen yang membantu pencatatan kredit secara akurat.

Dalam sebuah wawancara CEO Kredivo Akshay Garg mengatakan, Kredivo menggunakan data seperti izin aplikasi mobile , ecommerce , akun media sosial, dan bahkan situs yang pernah dikunjungi untuk mencari tahu kelayakan pengguna dalam berutang ketika mereka pertama kali mendaftar. Tapi satu hal yang membedakan Kredivo dan Akulaku dari perusahaan lainnya adalah data yang mereka dapatkan setelahnya.

Melalui fitur Paylater, Kredivo bisa melihat:

• Apa yang dibeli pengguna,

• Seberapa sering mereka belanja,

• Nilai transaksi belanja,

• Apakah mereka melunasi utang tepat waktu, dan lainnya.

Data tersebut tentu lebih baik dibanding data peminjam online pada umumnya. Di mana hanya terbatas pada berapa banyak uang yang mereka pinjam dan apakah uang tersebut dilunasi tepat waktu.

Kredivo ingin membuat siklus yang mengizinkan pengguna menggunakan Paylater untuk melakukan transaksi di merchant yang jadi mitra mereka. Saat ini, mitra kredivo antara lain Shopee , Lazada , Tokopedia , dan Bukalapak . Mitra tersebut kemudian bisa menyediakan data pengguna ke Kredivo.

Prentice juga setuju dan mengatakan kalau data yang diperoleh dari pengguna produk Paylater, termasuk perilaku belanja dan kebiasaannya, adalah data yang lebih baik. Produk Paylater juga biasanya didesain untuk membuat pengguna belanja dengan tujuan yang spesifik dan tidak hanya memberikan uang tunai begitu saja.

Co-founder Oriente Geoffrey Prentice / Sumber: Oriente

“Biasanya uang tersebut digunakan untuk membiayai usaha kecil atau membeli barang yang membantu kehidupan individu atau keluarga,” ia melanjutkan.

“Misalnya, pegawai kantoran di New York mungkin menggunakan produk Paylater untuk membeli barang mewah, pekerja buruh di Jakarta atau Filipina akan menggunakan Paylater untuk mengisi pulsa hingga perabot rumah. Itu guna meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi keluarga atau pribadi.”

Pinjaman tunai ke pengguna biasanya punya risiko. Karena itulah pinjaman tunai biasanya memiliki bunga yang lebih tinggi. OJK sudah membatasi bunga untuk pinjaman online yaitu sebesar 0,8 persen per hari, alias 27,43 persen per bulan.

Sementara produk Paylater Kredivo tidak punya bunga dalam 30 hari, karena data yang lebih beragam membuat Kredivo bisa menilai kelayakan pengguna dalam berutang secara akurat.

Saat artikel ini ditulis, tingkat kredit macet di Kredivo adalah 2,31 persen. Angka tersebut lebih kecil dibanding layanan pinjaman online UangTeman (5,04 persen), Tunaikita (6,41 persen), dan Modalku (6,93 persen), tapi lebih tinggi dari Amartha (0,89 persen) dan Koinworks (1,03 persen).

Akulaku punya tingkat kredit macet yang kurang jelas, tapi salah satu perpanjangan P2P-nya, Asetku, mengklaim tidak memiliki kredit macet (nol persen).

Approach produk Paylater juga bisa mengedukasi mereka yang baru pertama kali meminjam tanpa harus menghadapi risiko besar, karena penalti telat membayar tidak seberat dari pinjaman tunai.

Founder Akulaku William Li / Sumber: Akulaku

Bisa membantu proses belanja pengguna tanpa mengemban risiko besar mungkin cukup untuk menjelaskan besarnya valuasi Kredivo dan Akulaku. Tentu saja, apakah metode tersebut benar-benar bekerja, hanya mereka dan investornya yang tahu.

Langkah berikutnya untuk perusahaan-perusahaan ini adalah membuat produk kredit lain, termasuk pinjaman tunai yang sudah dilakukan oleh Kredivo dan Akulaku. Dengan dana seri C-nya, Kredivo juga ingin melangkah lebih jauh dengan berekspansi ke jenis pinjam lain, misalnya pinjaman edukasi, kesehatan, dan syariah.

Ant Financial juga punya langkah-langkah yang serupa. Selain Huabei yang menyediakan produk Paylater, perusahaan Cina tersebut juga punya Jiebei yang memberikan pinjaman jangka pendek.

Di pertengahan 2018, jumlah pinjaman yang belum dibayar di Ant Financial dilaporkan menyentuh angka US$95 miliar (sekitar Rp1,4 kuadriliun), hampir 3,7 kali dari angka China Construction Bank saat itu. Menurut laporan Bloomberg , rata-rata pengguna Huabei membuat pinjaman sebesar 700 Yuan (Rp1,4 juta) per bulan, sementara pengguna Jiebei meminjam sebesar 3000 Yuan (Rp6,3 juta) per bulan.

Para raksasa akan ikut serta

Bagi perusahaan penyedia Paylater di barat, ancaman yang mereka hadapi datang dari Visa dan Mastercard . Pada Juli 2019 lalu Mastercard telah mengumumkan bahwa mereka juga akan terjun ke sektor Paylater. Berita tersebut membuat harga saham perusahaan fintech Afterpay sempat jatuh di Australia. Tidak lama kemudian, kedua perusahaan malah bermitra .

Tapi ceritanya sedikit berbeda di Asia Tenggara. Selain Singapura dan Malaysia, Visa dan Mastercard belum mendominasi di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya belum punya rekening bank. Meskipun begitu, kedua perusahaan tetap mencari peluang di Asia Tenggara. Mereka jelas tidak mau melakukan kesalahan yang sama di Cina saat disalip oleh Alipay dan WeChat Pay .

Visa juga sudah melakukan inisiatif di Asia Tenggara dengan berinvestasi di Gojek dan sangat memperhatikan produk pembayaran startup unikorn tersebut.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Visa berinvestasi ke Grab, tapi berita tersebut disangkal oleh kedua pihak. Terlepas dari itu, dengan inisiatif yang mereka lakukan sejauh ini, tidak mengagetkan jika Visa atau Mastercard nantinya berinvestasi ke perusahaan seperti Kredivo.

Ekosistem yang berbeda otomatis memunculkan ancaman yang berbeda pula, dan untuk produk Paylater di Asia Tenggara, ancaman tersebut adalah perusahaan teknologi besar.

Belakangan ini fintech jadi metode monetisasi yang cukup umum di Indonesia, dan fitur Paylater sudah menjadi opsi de facto awal untuk banyak perusahaan. Traveloka dan Gojek sudah mengumumkan produk Paylater mereka masing-masing dalam dua tahun terakhir, sementara OVO sudah bermitra dengan Tokopedia.

Gojek sendiri mengekspansi fitur mereka ke sektor retail offline lewat pembayaran dengan aplikasi GoPay.

Kantor Traveloka / Sumber: Traveloka

Jika hasil akhir persaingan di sektor ini ditentukan dari jumlah data yang dimiliki, maka perusahaan seperti Kredivo tentu berada di posisi yang sulit dibanding perusahaan unikorn atau super-app yang punya data lebih dari 100 juta orang pengguna.

Satu celahnya adalah produk Paylater dari perusahaan unikorn masih terbatas pada ekosistem mereka sendiri. Meski tidak bisa dipungkiri ekosistem tersebut berukuran sangat besar. Selain itu, Prentice juga mengatakan, produk Paylater mungkin tidak akan cocok digunakan untuk transaksi yang punya nilai sangat kecil seperti ojek online .

“Ketika kamu mulai menggali aspek ekonomi di sektor ini, kamu akan sadar bahwa perusahaan tersebut mendapatkan uang dari pembayaran yang terlambat, padahal itu sama sekali tidak membantu siapa pun,” ujarnya.

Sementara itu startup Paylater punya kebebasan dalam memilih mitra. Beroperasi dalam skala kecil juga membantu startup ini untuk lebih fleksibel dan cepat dalam berekspansi ke vertikal atau produk lain di sektor kredit/pinjaman.

“Bagi fintech , semua hal mulai dari proses mencatat utang, pengambilan keputusan, pencairan dana, pelunasan, dan manajemen bisa dilakukan dengan cepat dan instan. Dengan beban operasi yang lebih ringan, perusahaan fintech bisa menyalurkan hasil penghematan biaya kembali ke klien,” ujar Prentice.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Yasser Paragian sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Ancha Hardiansya)

Lewat ke baris perkakas